Dari sebagian rizki yang kita peroleh adalah milik orang lain. Maka Berbagilah..
Matematika Gaji dan Logika Sedekah Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini.Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafahhidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakartaini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.
Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yangdiprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalamnegeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan daripelatihan itu. Melainkan dari pria ini. Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan.Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidakseperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan.Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengansikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahamidari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.
Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukarinformasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satusekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kamimasing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-samabernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakansangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amatberbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi. Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untukmembiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masihmemiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hinggaselesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknyayang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinyabarulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3kali dari jumlah yang diterimanya.
"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka.Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."
"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orangpelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapunsebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup.Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang." "Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan."Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisasedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.
"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalahkeluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punyauang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yangseribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"
"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.
"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seriburupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidakterduga."
Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agaktercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkinmasih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya? "Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kansudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapatjawabannya. "Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis.Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logikasedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisajadi puluhan lontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulutpengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jikakita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat.
Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilaibakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC." Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yangdilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melaluicontoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan.Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan olehorang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpahharta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab iamerasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi. Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjangmelalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajyseperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkanuntuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunasjasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dansejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyaknilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat. "Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilaimetematis dengan dimensi sedekah itu?". "Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin,tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat denganketerbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlahke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilaiqona'ah, ridha dan syukur". Saya semakin tertegun Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah sayahabiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selamaini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama sayarasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannyamenutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahankesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkansatu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang danmencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.
*** Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telahbeberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untukmeraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat,sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yangmenafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benihyang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allahmelipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan AllahMaha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah[2] 261)
By email Nike Rifa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar