Rabu, 25 Juni 2008

Matematika Gaji dan Logika Sedekah


Dari sebagian rizki yang kita peroleh adalah milik orang lain. Maka Berbagilah..

Matematika Gaji dan Logika Sedekah Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini.Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafahhidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakartaini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.

Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yangdiprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalamnegeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan daripelatihan itu. Melainkan dari pria ini. Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan.Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidakseperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan.Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengansikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahamidari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukarinformasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satusekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kamimasing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-samabernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakansangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amatberbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi. Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untukmembiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masihmemiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hinggaselesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknyayang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinyabarulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3kali dari jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka.Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"

"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orangpelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapunsebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup.Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang." "Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan."Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisasedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalahkeluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punyauang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yangseribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seriburupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidakterduga."

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agaktercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkinmasih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya? "Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kansudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapatjawabannya. "Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis.Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logikasedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisajadi puluhan lontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulutpengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jikakita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat.
Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilaibakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC." Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yangdilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melaluicontoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan.Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan olehorang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpahharta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab iamerasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi. Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjangmelalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajyseperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkanuntuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunasjasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dansejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyaknilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat. "Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilaimetematis dengan dimensi sedekah itu?". "Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin,tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat denganketerbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlahke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilaiqona'ah, ridha dan syukur". Saya semakin tertegun Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah sayahabiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selamaini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama sayarasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannyamenutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahankesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkansatu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang danmencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.
*** Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telahbeberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untukmeraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat,sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yangmenafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benihyang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allahmelipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan AllahMaha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah[2] 261)

By email Nike Rifa

Sabtu, 21 Juni 2008

Telaga Hati



Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.Pak tua bijak hanya mendengarkan dgn seksama, lalu Ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air.Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan,"Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya ", ujar pak tua"Pahit, pahit sekali ", jawab pemuda itu sambil meludah ke samping Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya.Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu.Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya."Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya, "Bagaimana rasanya ?" "Segar", sahut si pemuda."Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?" tanya pak tua "Tidak, " sahut pemuda ituPak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata: "Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yg kamu dapat lakukan; Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu".Pak tua itu lalu kembali menasehatkan: "Hatimu adalah wadah itu; Perasaanmu adalah tempat itu; Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.Karena Hidup adalah sebuah pilihan, mampukah kita jalani kehidupan dengan baik sampai ajal kita menjelang?Belajar bersabar menerima kenyataan adalah yang terbaik"

(dari email Agus S)

Senin, 02 Juni 2008

Pedagang dan Nelayan


Ada cerita menarik yang bisa kita ambil, ternyata apa yang kita pikir dan apa yang kita mau tidak sama dengan orang lain, seperti dalam kisah ini yang di Post email oleh rekan saya "Agus Sutarya" antara Pedagang dan Nelayan.

Suatu hari, seorang pedagang kaya datang berlibur ke sebuah pulau yang masih asri. Saat merasa bosan, dia berjalan-jalan keluar dari villa tempat dia menginap dan menyusuri tepian pantai. Terlihat Di sebuah dinding karang seseorang sedang memancing, dia menghampiri sambil menyapa,"Sedang memancing ya pak?", sambil menoleh si nelayan menjawab,"Benar tuan. Mancing satu-dua ikan untuk makan malam keluarga kami".
"Kenapa cuma satu-dua ikan pak? Kan banyak ikan di laut ini, kalau bapak mau sedikit lebih lama duduk disini, tiga-empat ekor ikan pasti dapat kan?"
Kata si pedagang yang menilai si nelayan sebagai orang malas. "Apa gunanya buat saya ?" tanya si nelayan keheranan."Satu-dua ekor disantap keluarga bapak, sisanya kan bisa dijual. Hasil penjualan ikan bisa ditabung untuk membeli alat pancing lagi sehingga hasil pancingan bapak bisa lebih banyak lagi" katanya menggurui.
"Apa gunanya bagi saya?" tanya si nelayan semakin keheranan.
"Begini. Dengan uang tabungan yang lebih banyak, bapak bisa membeli jala. Bila hasil tangkapan ikan semakin banyak, uang yang dihasilkan juga lebih banyak, bapak bisa saja membeli sebuah perahu. Dari satu perahu bisa bertambah menjadi armada penangkapan ikan. Bapak bisa memiliki perusahaan sendiri. Suatu hari bapak akan menjadi seorang nelayan yang kaya raya".
Nelayan yang sederhana itu memandang si turis dengan penuh tanda tanya dan kebingungan. Dia berpikir, laut dan tanah telah menyediakan banyak makanan bagi dia dan keluarganya, mengapa harus dihabiskan untuk mendapatkan uang? Mengapa dia ingin merampas kekayaan alam sebanyak-banyaknya untuk dijual kembali. Sungguh tidak masuk diakal ide yang ditawarkan kepadanya.
Sebaliknya, merasa hebat dengan ide bisnisnya si pedagang kembali meyakinkan, "Kalau bapak mengikuti saran saya, bapak akan menjadi kaya dan bisa memiliki apa pun yang bapak mau".
"Apa yang bisa saya lakukan bila saya memiliki banyak uang?" tanya si nelayan.
"Bapak bisa melakukan hal yg sama seperti saya lakukan, setiap tahun bisa berlibur, mengunjungi pulau seperti ini, duduk di dinding pantai sambil memancing".
"Lho, bukankan hal itu yang setiap hari saya lakukan tuan, kenapa harus menunggu berlibur baru memancing?", kata si nelayan menggeleng-gelengkan kepalanya semakin heran.
Mendengar jawaban si nelayan, si pedagang seperti tersentak kesadarannya bahwa untuk menikmati memancing ternyata tidak harus menunggu kaya raya.
Pepatah mengatakan, jangan mengukur baju dengan badan orang lain.Si pedagang mungkin benar melalui analisa bisnisnya, dia merasa apa yang dilakukan oleh si nelayan terlalu sederhana, monoton dan tidak bermanfaat. Mengeruk kekayaan alam demi mendapatkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya adalah wajar baginya.
Sedangkan bagi si nelayan, dengan pikiran yang sederhana, mampu menerima apapun yang diberikan oleh alam dengan puas dan ikhlas. Sehingga hidup dijalani setiap hari dengan rasa syukur dan berbahagia.
Memang ukuran "bahagia", masing-masing orang pastilah tidak sama. Semua kembali kepada keikhlasan dan cara kita mensyukuri, apapun yang kita miliki saat ini.

Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan.
Dan semua hasrat -keinginan adalah buta, jika tidak disertai
pengetahuan . Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran.
Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta
.


Intinya bahwa kita tidak bisa atau menyamai seseorang atau harus sama dengan orang lain, karena jelas bahwa saat Allah menciptakan manusia, sudah disurat takdirkan untuk perjalanan hidupnya, " Jadilah diri kita sendiri "

Salam
Nans