Senin, 01 Februari 2010
BE GOOD VS LOOKS GOOD
Oleh : Arvan Pradiansyah
Seorang gadis di hamil di luar nikah. Setelah ditanyai berkali-kali, akhirnya ia mengaku bahwa bapak dari anak yang dikandungnya adalah seorang bijak yang setiap hari beribadah dan tinggal di luar desa.
Orang tua si gadis bersama banyak penduduk desa beramai-ramai menemui si orang bijak. Dengan kasar mereka menyerbu orang bijak yang tengah berdoa. Mereka menghajarnya karena kemunafikannya dan menuntut si orang bijak untuk menanggung biaya untuk membesarkan si anak yang sudah lahir itu.
Menghadapi hal itu, orang bijak hanya mengatakan, "Baiklah, baiklah."
Setelah orang banyak pergi meninggalkannya, ia memungut bayi itu dari lantai. Ia minta supaya seorang ibu dari desa memberi anak itu makan dan pakaian serta merawatnya atas tanggungannya.
Orang bijak itu jatuh namanya. Tidak ada lagi orang yang datang untuk meminta nasihat kepadanya.
Setelah peristiwa itu berlalu setahun lamanya, gadis yang melahirkan anak itu tidak kuat lagi menyimpan rahasianya lebih lama. Akhirnya, ia mengaku bahwa ia telah berdusta. Ayah anak itu sesungguhnya adalah pemuda di sebelah rumahnya. Orang tua si gadis dan penduduk kampung amat menyesal. Mereka bersembah sujud di kaki si orang bijak untuk mohon maaf dan meminta kembali anak tadi.
Melihat hal itu, orang bijak mengembalikannya dan yang dikatakannya hanyalah, "Baiklah, baiklah."
* * * * *
Apa pendapat Anda mengenai orang bijak tadi? Mengapa ia sama sekali tidak membela dirinya dan membiarkan kredibilitasnya jatuh?
Padahal, bukankah kredibilitas dan nama baik adalah segala-galanya? Bukankah justru banyak orang yang berusaha mempertahankannya mati-matian?
Pembaca yang budiman, berkaitan dengan nama baik ini, kita dapat membedakan tiga jenis manusia.
Orang pertama saya sebut Manusia Politis. Mereka tidak harus politisi, tetapi mereka adalah orang-orang (termasuk pelaku bisnis) yang menjadikan citra sebagai fokus perhatian yang utama. Bahkan, bagi mereka citra itu lebih penting daripada kenyataan.
Manusia tipe ini senantiasa mendandani, menghiasi dan memermak diri mereka dengan berbagai cara. Yang terpenting bagi mereka adalah mengerek citra.
Mereka membangun persepsi bahwa merekalah yang paling pandai, paling hebat dan paling bagus. Sayangnya, mereka tidak berusaha meningkatkan kualitas diri mereka karena telah cukup puas "bermain" di tingkat persepsi. Mereka cukup puas kalau kelihatan baik (looks good ), padahal mereka tidak benar-benar baik (be good).
Mereka telah melanggar hukum alam yang mensyaratkan pertumbuhan dari dalam (be good) ke luar (looks good). Karena itu, suatu ketika nanti mereka akan menanggung akibatnya dalam bentuk hilangnya kepercayaan (trust).
Nah, rumus orang pertama tadi: Looks Good > Be Good, sedangkan rumus orang kedua adalah Looks Good = Be Good. Inilah yang saya sebut sebagai Manusia Bisnis.
Orang jenis ini berusaha mengomunikasikan semua potensi yang ia miliki agar dapat dikenali pasar. Mereka menyadari bahwa promosi (looks good) itu penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah membangun kualitas ke dalam (be good).
Orang ketiga adalah Manusia Spiritual. Ini seperti orang bijak dalam cerita di atas. Bagi orang seperti ini be good jauh lebih penting daripada looks good. Jadi, rumus mereka: Looks Good < Be Good.
Anda mungkin bertanya, mengapa bisa demikian? Ada beberapa alasannya.
Pertama, bagi manusia spiritual, satu-satunya yang penting adalah be good, yaitu bagaimana caranya menjadi orang yang baik. Karena itu, seluruh waktu yang dimilikinya ia curahkan untuk senantiasa meningkatkan kualitas dirinya. Tak ada lagi waktu yang tersisa untuk membangun citra.
Bagi orang yang spiritual, persepsi atau pandangan orang terhadap dirinya menjadi kurang penting karena yang terpenting adalah bagaimana pandangan Tuhan terhadap dirinya. Dan ketika bicara mengenai Tuhan, sejatinya persepsi menjadi tak ada artinya sama sekali. Tuhan adalah Yang Maha Mengetahui. Karenanya, di hadapan Tuhan manusia tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya di balik topeng-topeng persepsi. Bukankah di hadapan Tuhan tidak ada yang namanya looks good? Bukankah di hadapan Tuhan yang ada hanya be good? Inilah yang membuat orang yang spiritual tidak pernah membuang waktunya sedikit pun untuk urusan looks good.
Kedua, karena pemahaman semacam itu, orang yang spiritual yakin bahwa pada akhirnya be good akan selalu mengalahkan looks good. Orang yang spiritual sadar sepenuhnya bahwa looks good hanyalah sebuah penampakan yang tidak kekal dan boleh jadi penuh dengan kepalsuan. Dan karena kebenaran senantiasa mengalahkan kepalsuan, pada akhirnya be good-lah yang akan menang. Maka, mereka hanya membangun be good dan senantiasa menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari. Mereka sadar bahwa hanya dengan menjadi baiklah mereka akan terlihat baik. Dan bukankah tanpa bersusah payah membangun citra, citra yang akan tercipta justru menjadi lebih alami, lebih tulus dan lebih terpercaya?
Ketiga, orang-orang yang spiritual ini sadar bahwa memikirkan citra malah akan mengurangi nilai kebaikan yang mereka berikan. Sehingga, seluruh energi hanyalah mereka curahkan untuk kebaikan. Mereka tak pernah mengharapkan balasan apa pun. Mereka hanya yakin sepenuhnya dengan hukum kekekalan energi, yaitu bahwa semua yang mereka berikan kepada dunia sesungguhnya akan kembali lagi kepada mereka dalam bentuk yang berbeda.
Pembaca yang budiman, spiritualitas akan membuat hidup kita menjadi jauh lebih sederhana. Ketika ada orang yang menjelek-jelekkan kita, kita tidak akan terlalu dipusingkan untuk menangkis segala tuduhan dan serangan. Orang yang spiritual sadar bahwa nama baiknya tidak akan pernah jatuh oleh apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Nama baiknya justru akan jatuh oleh apa yang ia katakan mengenai orang tersebut.
Sabtu, 05 Desember 2009
TERIMA KASIH TUHAN
Aku bermimpi suatu hari aku pergi ke surga dan seorang malaikat
menemaniku dan menunjukkan keadaan di surga. Kami berjalan
memasuki
suatu ruang kerja penuh dengan para malaikat. Malaikat yang
mengantarku berhenti di depan ruang kerja pertama dan berkata, '
Ini adalah Seksi Penerimaan. Disini, semua permintaan yang ditujukan
pada Allah diterima'.
Aku melihat-lihat sekeliling tempat ini dan aku dapati tempat ini
begitu sibuk dengan begitu banyak malaikat yang memilah-milah
seluruh permohonan yang tertulis pada kertas dari manusia di
seluruh dunia..
Kemudian aku dan malaikat-ku berjalan lagi melalui koridor yang
panjang lalu sampailah kami pada ruang kerja kedua. Malaikat-ku
berkata, 'Ini adalah Seksi Pengepakan dan Pengiriman. Disini
kemuliaan dan berkat yang diminta manusia diproses dan dikirim ke
manusia-manusia yang masih hidup yang memintanya'. Aku perhatikan
lagi betapa sibuknya ruang kerja itu. Ada banyak malaikat yang
bekerja begitu keras karena ada begitu banyaknya permohonan yang
dimintakan dan sedang dipaketkan untuk dikirim ke bumi.
Kami melanjutkan perjalanan lagi hingga sampai pada ujung terjauh
koridor panjang tersebut dan berhenti pada sebuah pintu ruang kerja
yang sangat kecil. Yang sangat mengejutkan aku, hanya ada satu
malaikat yang duduk disana, hampir tidak melakukan apapun. 'Ini
adalah Seksi Pernyataan Terima Kasih', kata Malaikatku pelan. Dia
tampak malu.
'Bagaimana ini? Mengapa hampir tidak ada pekerjaan disini?'tanyaku.
'Menyedihkan' , Malaikat-ku menghela napas.
'Setelah manusia menerima berkat yang mereka minta, sangat sedikit
manusia yang mengirimkan pernyataan terima kasih'.
'Bagaimana manusia menyatakan terima kasih atas berkat Tuhan?',
tanyaku..
'Sederhana sekali', jawab Malaikat. 'Cukup berkata, 'Terima kasih,
Tuhan' '.
'Lalu, berkat apa saja yang perlu kita syukuri', tanyaku.
Malaikat-ku menjawab,
'Jika engkau mempunyai makanan di lemari es, pakaian yang
menutup tubuhmu, atap di atas kepalamu dan tempat untuk tidur,
Maka engkau lebih kaya dari 75% penduduk dunia ini.
'Jika engkau memiliki uang di bank, di dompetmu, dan uang-uang
receh, maka engkau berada diantara 8% kesejahteraan dunia.
'Dan jika engkau mendapatkan pesan ini di komputer mu, engkau
adalah bagian dari 1% di dunia yang memiliki kesempatan itu.
Juga..... 'Jika engkau bangun pagi ini dengan lebih banyak
kesehatan daripada kesakitan .... engkau lebih diberkati daripada begitu
banyak orang di dunia ini yang tidak dapat bertahan hidup hingga hari ini.
'Jika engkau tidak pernah mengalami ketakutan dalam perang,
kesepian dalam penjara, kesengsaraan penyiksaan, atau kelaparan yang amat
sangat Maka engkau lebih beruntung dari 700 juta orang di dunia'.
'Jika engkau dapat menghadiri atau pertemuan religius
tanpa ada ketakutan akan penyerangan, penangkapan, penyiksaan, atau
kematian...
maka engkau lebih diberkati daripada 3 milyar orang di dunia.
'Jika orangtuamu masih hidup dan masih berada dalam ikatan
pernikahan .... maka engkau termasuk orang yang sangat jarang.
Jika engkau masih bisa mencintai ....
maka engkau termasuk orang yang besar, Karena cinta adalah berkat
Tuhan yang tidak didapat dari manapun
'Jika engkau dapat menegakkan kepala dan tersenyum,
maka engkau bukanlah seperti orang kebanyakan, engkau unik
dibandingkan dari semua (mereka) yang berada dalam keraguan dan
keputusasaan.
'Jika engkau dapat membaca pesan ini, maka engkau menerima
berkatganda, yaitu bahwa seseorang yang mengirimkan ini padamu berpikir
bahwa engkau orang yang sangat istimewa baginya, dan bahwa,
engkau
lebih diberkati daripada lebih dari 2 juta orang di dunia yang
bahkan tidak dapat membaca sama sekali'.
Nikmatilah hari-harimu, hitunglah berkat yang telah Tuhan
anugerahkan kepadamu. Dan jika engkau berkenan, kirimkan pesan
ini
ke semua teman-teman- mu untuk mengingatkan mereka betapa.
diberkatinya kita semua. 'Dan ingatlah tatkala Tuhanmu menyatakan
bahwa, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan
menambahkan lebih banyak nikmat kepadamu' '.
Ditujukan pada : Departemen Pernyataan Terima Kasih.
'Terima kasih, Tuhan! Terima kasih, Tuhan, atas anugerahmu berupa
kemampuan membagi pesan ini dan memberikannya aku begitu banyak
teman-teman yang istimewa untuk saling berbagi'.
Send by Email nike rifa 3 Dec 2009
Senin, 12 Oktober 2009
G U A
From: Agus Suntarya
Sent: Friday, October 09, 2009 4:50 PM
Subject: GUA
GUA
Dua orang pemuda tampak berdiskusi di sebuah mulut gua. Sesekali, mereka memandang ke arah dalam gua yang begitu gelap. Gelap sekali! Hingga, tak satu pun benda yang tampak dari luar. Hanya irama suara serangga yang saling bersahutan.
“Guru menyuruh kita masuk ke sana . Menurutmu, gimana? Siap?” ucap seorang pemuda yang membawa tas besar. Tampaknya, ia begitu siap dengan berbagai perbekalan.
“Menurut petunjuk guru, gua ini bukan sekadar gelap. Tapi, panjang dan banyak stalagnit, kelelawar, dan serangga,” sahut pemuda yang hanya membawa tas kecil. Orang ini seperti punya kesiapan lain di luar perbekalan alat. “Baiklah, mari kita masuk!” ajaknya sesaat kemudian.
Tidak menyangka dengan ajakan spontan itu, pemuda bertas besar pun gagap menyiapkan senter. Ia masuk gua beberapa langkah di belakang pemuda bertas kecil. “Aneh!” ucapnya kemudian. Ia heran dengan rekannya yang masuk tanpa penerangan apa pun.
Dari mulai beriringan, perjalanan keduanya mulai berjarak. Pemuda bertas besar berjalan sangat lambat. Ia begitu asyik menyaksikan keindahan isi gua melalui senternya: kumpulan stalagnit yang terlihat berkilau karena tetesan air jernih, panorama gua yang membentuk aneka ragam bentukan unik, dan berbagai warna-warni serangga yang berterbangan karena gangguan cahaya. “Aih, indahnya!” gumamnya tak tertahan.
Keasyikan itu menghilangkannya dari sebuah kesadaran. Bahwa ia harus melewati gua itu dengan selamat dan tepat waktu. Bahkan ia tidak lagi tahu sudah di mana rekan seperjalanannya. Ia terus berpindah dari satu panorama ke panorama lain, dari satu keindahan ke keindahan lain.
Di ujung gua, sang guru menanyakan rahasia pemuda bertas kecil yang bisa jauh lebih dulu tiba. “Guru…,” ucap sang pemuda begitu tenang. “…dalam gelap, aku tidak lagi mau mengandalkan mata zhahir. Mata batinkulah yang kuandalkan. Dari situ, aku bisa merasakan bimbingan hembusan angin ujung gua, kelembaban cabang jalan gua yang tak berujung, batu besar, dan desis ular yang tak mau diganggu,” jelas sang pemuda begitu meyakinkan.
**
Ada banyak “gua” dalam hidup ini. Gua ketika seseorang kehilangan pekerjaan. Gua di saat gadis atau lajang terus-menerus tertinggal peluang berjodoh. Gua di saat orang alim menjadi sulit dipercaya. Gua ketika bencana begitu buta. Dan, berbagai “gua” lain yang kadang dalam gelapnya menyimpan seribu satu keindahan yang membuai.
Sebagian kita, suka atau tidak, harus menempuh rute jalannya yang gelap, lembab, dan penuh jebakan. Sayangnya, tidak semua kita mampu menyiapkan bekal secara pas. Kita kadang terjebak dengan kelengkapan alat. Dan, melupakan bekalan lain yang jauh lebih jitu dan berdaya guna: kejernihan mata hati.
Mata hatilah yang mampu menembus pandangan di saat “gelap”. Mata hatilah yang bisa membedakan antara angin tuntunan dengan yang tipuan. Kejernihannya pula yang bisa memantulkan ‘cahaya’ yang sejati
Rabu, 18 Februari 2009
Maka Nikmatilah, Karena Ini Pun Akan Berlalu
Penulis : Azimah Rahayu
Saat di depanmu terhidang nasi sayur tahu tempe, mengapa mesti sibuk berandai-andai dapat makan ikan, daging, atau ayam ala resto? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang ada tanpa berkesah, pastilah rasanya tak jauh beda. Karena enak atau tidaknya makanan lebih tergantung kepada rasa lapar dan mau tidaknya kita menerima apa yang ada. Maka nikmatilah, karena jika engkau terus mengharap makanan yang lebih enak, makanan yang ada di depanmu akan basi, padahal belum tentu besok engkau akan mendapatkan yang lebih baik daripada hari ini.Saat engkau menemui udara pagi ini cerah, langit hari ini biru indah, mengapa sibuk mencemaskan hujan yang tak kunjung datang? Padahal kalau saja kau nikmati adanya tanpa kesah, pastilah kau dapat mengerjakan begitu banyak kegiatan dengan penuh kegembiraan. Maka nikmatilah, jangan malah resah memikirkan hujan yang tak kunjung tumpah. Karena jika kau tak menikmatinya, maka saat tiba masanya hujan menggenangi tanahmu, kau pun kan kembali resah memikirkan kapan hujan berhenti.Percayalah, semua ini akan berlalu, maka mengapa harus memikirkan sesuatu yang tak ada, namun suatu saat pasti akan hadir jua? Sedang hal itu hanya akan membuat kita kehilangan keindahan hari ini karena mencemaskan sesuatu yang belum pasti.Saat engkau memiliki sebuah pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, meski tak sesuai dengan yang kau inginkan, mengapa mesti kesal dan membayangkan pekerjaan ideal yang jauh dari jangkauan? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang kau miliki, tentu akan lebih mudah menjalani. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat kau dapatkan apa yang kau inginkan, ternyata tak seindah yang kau bayangkan. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat sudah kau lepaskan, kau akan menyesal, ternyata begitu banyak kebaikan yang tidak kau lihat sebelumnya. Ternyata begitu banyak keindahan yang terlewat tak kau nikmati.Maka nikmatilah, dan jangan habiskan waktumu dengan mengeluh dan menginginkan yang tidak ada. Maka nikmatilah, karena suatu saat, semua ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, jangan sampai kau kehilangan nikmatnya dan hanya mendapatkan getirnya saja. Maka nikmatilah, dengan bersyukur dan memanfaatkan apa yang kau miliki dengan lebih baik lagi agar besok menjadi sesuatu yang berguna. Maka nikmatilah, karena ia akan menjadi milikmu apa adanya dan hanya saat ini saja. Sedang besok bisa jadi semua telah berganti.Jika hari ini engkau menderita, maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu, jangan biarkan dia pergi, kemudian ketika kau harus lebih menderita suatu saat nanti, engkau tidak sanggup menahannya. Maka nikmatilah rasa sedihmu, dengan mengenang kesedihan yang lebih dalam yang pernah kau alami. Dengan membayangkan kesedihan yang lebih memar pada hari akhir nanti jika kau tak dapat melewati kesedihan kali ini.Dengan menemukan penghapus dosa pada musibah yang kau alami kini. Maka nikmatilah rasa galaumu, dengan bertafakkur lebih banyak atas permasalahan yang kau hadapi. Dengan memikirkan kedewasaan yang kan kau gapai atas resah dan galau itu. Dengan kematangan yang akan kau miliki setelah berhasil melewati semua ini. Maka nikmatilah rasa marahmu, dengan kemampuan mengendalikan diri. Dengan memikirkan penggugur dosa yang kan kau dapatkan. Dengan mendapatkan kemenangan atas diri pribadi yang tak semua orang dapat lakukan.Maka nikmatilah, dengan berpikir positif atas apa pun yang kau jalani, atas apa pun yang kau hadapi, atas apa pun yang kau terima, karena dengan begitu engkau akan bahagia. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu jua. Maka nikmatilah, karena rasa puas dan syukur atas apa yang telah kita raih akan menghadirkan ketenteraman dan kebahagiaan. Sedang ketidakpuasan hanya akan melahirkan penderitaan. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, agar engkau tidak kehilangan hikmah dan keindahannya, saat segalanya yang telah tiada. Maka nikmatilah, agar tak hanya derita yang tersisa saat semua telah berakhir jua.
Senin, 11 Agustus 2008
RACUN
Dahulu kala di negeri Cina,adalah seorang gadis bernama Li-Li.Ia baru menikah dan tinggal diwisma mertua indah.
Dalam waktu singkat, Li-Li tahu bahwa ia sangat tidak cocok tinggal serumah dengan ibu mertuanya. Karakter mereka sangat jauh berbeda.Dan Li-Li sangat tidak menyukai kebiasaan ibu mertuanya. Hari berganti hari, begitu pula bulan berganti bulan.Li-Li dan ibu mertuanya tak pernah berhenti berdebat dan bertengkar.
Yang makin membuat Li-Li kesal adalah adat kuno Cina yang mengharuskan ia untuk selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertuanya dan mentaati semua kemauannya Semua kemarahan dan ketidakbahagiaan di dalam rumah itu menyebabkan kesedihan yang mendalam pada hati suami Li-Li, seorang yang berjiwa sederhana.
Akhirnya,
Li-Li tidak tahan lagi terhadap sifat buruk dan kelakuan ibu mertuanya. Dan ia benar-benar telah bertekad untuk melakukan sesuatu.
Li-Li pergi menjumpai seorang teman ayahnya yaitu Sinshe Wang yang mempunyai Toko Obat Cina. Ia menceritakan situasinya dan minta dibuatkan ramuan racun yang kuat
untuk diberikan pada ibu mertuanya.
Sinshe Wang berpikir keras sejenak. Lalu ia berkata, "Li-Li, saya mau membantu kamu menyelesaikan masalahmu, tetapi kamu harus mendengarkan saya dan mentaati apa yang saya sarankan."
Li-Li berkata, "OK pak Wang, saya akan mengikuti apa saja yang bapak katakan,
yang harus saya perbuat." Sinshe Wang masuk ke dalam, dan tak lama ia kembali dengan
menggenggam sebungkus ramuan.
Ia berkata kepada Li-Li, "Kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika, untuk meyingkirkan ibu mertuamu, karena hal itu akan membuat semua orang menjadi curiga. Oleh karena itu, saya memberi kamu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan menjadi racun di dalam tubuhnya.
Sinshe Wang melanjutkan, “Setiap hari, sediakan makanan yang enak-enak dan masukkan sedikit ramuan obat ini ke dalamnya. Lalu, supaya tidak ada yang curiga
saat ia mati nanti, kamu harus hati-hati sekali dan bersikap sangat bersahabat dengannya.
Jangan berdebat dengannya, taati semua kehendaknya, dan perlakukan dia seperti seorang ratu."
Li-Li sangat senang. Ia berterima kasih kepada pak Wang dan buru-buru pulang ke rumah
untuk memulai rencana membunuh ibu mertuanya. Minggu demi minggu, bulan demi bulan pun berlalu. Setiap hari Li-Li melayani mertuanya dengan makanan yang enak-enak, yang sudah "dibumbuinya".
Ia mengingat semua petunjuk dari Sinshe Wang tentang hal mencegah kecurigaan.
Maka ia mulai belajar untuk mengendalikan amarahnya, mentaati perintah ibu mertuanya,
dan memperlakukannya seperti ibunya sendiri.
Setelah enam bulan lewat, suasana di dalam rumah itu berubah secara drastis. Li-Li sudah mampu mengendalikan amarahnya sedemikian rupa sehingga ia menemukan dirinya
tidak pernah lagi marah atau kesal.
Ia tidak pernah berdebat lagi dengan ibu mertuanya selama enam bulan terakhir karena ia mendapatkan bahwa ibu mertuanya kini tampak lebih ramah kepadanya. Sikap si ibu mertua terhadap Li-Li telah berubah, dan mulai mencintai Li-Li seperti puterinya sendiri.
Ia terus menceritakan kepada kawan-kawan dan sanak familinya bahwa Li-Li adalah menantu yang paling baik yang ia peroleh.
Li-Li dan ibu mertuanya saling memperlakukan satu sama lain seperti layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Suami Li-Li sangat bahagia menyaksikan semua yang terjadi. Suatu hari, Li-Li pergi menjumpai Sinshe Wang dan meminta bantuannya sekali lagi. Ia berkata, "Pak Wang, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang saya berikan kepada ibu mertua saya tidak sampai membunuhnya!”
“Ia telah berubah menjadi seorang wanita yang begitu baik, sehingga saya sangat mencintainya seperti kepada ibu saya sendiri. Saya tidak mau ia mati karena racun
yang saya berikan kepadanya."
Sinshe Wang tersenyum. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah ramuan penguat badan untuk menjaga kesehatan beliau.”
“Satu-satunya racun yang ada, adalah yang terdapat di dalam pikiranmu sendiri, dan di dalam sikapmu terhadapnya, …”
“… tetapi semuanya itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya ..." Sadarkah anda bahwa sebagaimana anda memperlakukan orang lain maka demikianlah persis bagaimana mereka akan memperlakukan anda?
Ada pepatah Cina kuno berkata: "Orang yang mencintai orang lain, akan dicintai juga sebagai balasannya."
Dalam waktu singkat, Li-Li tahu bahwa ia sangat tidak cocok tinggal serumah dengan ibu mertuanya. Karakter mereka sangat jauh berbeda.Dan Li-Li sangat tidak menyukai kebiasaan ibu mertuanya. Hari berganti hari, begitu pula bulan berganti bulan.Li-Li dan ibu mertuanya tak pernah berhenti berdebat dan bertengkar.
Yang makin membuat Li-Li kesal adalah adat kuno Cina yang mengharuskan ia untuk selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertuanya dan mentaati semua kemauannya Semua kemarahan dan ketidakbahagiaan di dalam rumah itu menyebabkan kesedihan yang mendalam pada hati suami Li-Li, seorang yang berjiwa sederhana.
Akhirnya,
Li-Li tidak tahan lagi terhadap sifat buruk dan kelakuan ibu mertuanya. Dan ia benar-benar telah bertekad untuk melakukan sesuatu.
Li-Li pergi menjumpai seorang teman ayahnya yaitu Sinshe Wang yang mempunyai Toko Obat Cina. Ia menceritakan situasinya dan minta dibuatkan ramuan racun yang kuat
untuk diberikan pada ibu mertuanya.
Sinshe Wang berpikir keras sejenak. Lalu ia berkata, "Li-Li, saya mau membantu kamu menyelesaikan masalahmu, tetapi kamu harus mendengarkan saya dan mentaati apa yang saya sarankan."
Li-Li berkata, "OK pak Wang, saya akan mengikuti apa saja yang bapak katakan,
yang harus saya perbuat." Sinshe Wang masuk ke dalam, dan tak lama ia kembali dengan
menggenggam sebungkus ramuan.
Ia berkata kepada Li-Li, "Kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika, untuk meyingkirkan ibu mertuamu, karena hal itu akan membuat semua orang menjadi curiga. Oleh karena itu, saya memberi kamu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan menjadi racun di dalam tubuhnya.
Sinshe Wang melanjutkan, “Setiap hari, sediakan makanan yang enak-enak dan masukkan sedikit ramuan obat ini ke dalamnya. Lalu, supaya tidak ada yang curiga
saat ia mati nanti, kamu harus hati-hati sekali dan bersikap sangat bersahabat dengannya.
Jangan berdebat dengannya, taati semua kehendaknya, dan perlakukan dia seperti seorang ratu."
Li-Li sangat senang. Ia berterima kasih kepada pak Wang dan buru-buru pulang ke rumah
untuk memulai rencana membunuh ibu mertuanya. Minggu demi minggu, bulan demi bulan pun berlalu. Setiap hari Li-Li melayani mertuanya dengan makanan yang enak-enak, yang sudah "dibumbuinya".
Ia mengingat semua petunjuk dari Sinshe Wang tentang hal mencegah kecurigaan.
Maka ia mulai belajar untuk mengendalikan amarahnya, mentaati perintah ibu mertuanya,
dan memperlakukannya seperti ibunya sendiri.
Setelah enam bulan lewat, suasana di dalam rumah itu berubah secara drastis. Li-Li sudah mampu mengendalikan amarahnya sedemikian rupa sehingga ia menemukan dirinya
tidak pernah lagi marah atau kesal.
Ia tidak pernah berdebat lagi dengan ibu mertuanya selama enam bulan terakhir karena ia mendapatkan bahwa ibu mertuanya kini tampak lebih ramah kepadanya. Sikap si ibu mertua terhadap Li-Li telah berubah, dan mulai mencintai Li-Li seperti puterinya sendiri.
Ia terus menceritakan kepada kawan-kawan dan sanak familinya bahwa Li-Li adalah menantu yang paling baik yang ia peroleh.
Li-Li dan ibu mertuanya saling memperlakukan satu sama lain seperti layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Suami Li-Li sangat bahagia menyaksikan semua yang terjadi. Suatu hari, Li-Li pergi menjumpai Sinshe Wang dan meminta bantuannya sekali lagi. Ia berkata, "Pak Wang, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang saya berikan kepada ibu mertua saya tidak sampai membunuhnya!”
“Ia telah berubah menjadi seorang wanita yang begitu baik, sehingga saya sangat mencintainya seperti kepada ibu saya sendiri. Saya tidak mau ia mati karena racun
yang saya berikan kepadanya."
Sinshe Wang tersenyum. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah ramuan penguat badan untuk menjaga kesehatan beliau.”
“Satu-satunya racun yang ada, adalah yang terdapat di dalam pikiranmu sendiri, dan di dalam sikapmu terhadapnya, …”
“… tetapi semuanya itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya ..." Sadarkah anda bahwa sebagaimana anda memperlakukan orang lain maka demikianlah persis bagaimana mereka akan memperlakukan anda?
Ada pepatah Cina kuno berkata: "Orang yang mencintai orang lain, akan dicintai juga sebagai balasannya."
Kamis, 10 Juli 2008
PESAN IBU
Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya."
"Nggak, Dik. Saya lapar mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak. Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda, sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak, Dik. Saya sudah kenyang."
Sambil berkukuh mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa buat oleh-oleh pulang, Om."
Dompet yang belum sempat dimasukan ke kantong pun dibukanya kembali. Lalu, dikeluarkan dua lembar ribuan dan si pemuda menyodorkan kepada si anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati si anak itu menerima uangnya dan bergegas keluar restoran. Lalu, ia memberikan uang itu kepada pengemis di depan restoran. Merasa heran dan sedikit tersinggung, si pemuda menegur si anak penjual kue, "Hai, Adik Kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang? Kenapa setelah uang ada di tanganmu malah kamu berikan ke orang lain?"
"Om, jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh Ibu saya sendiri dan Ibu pasti akan sedih dan marah jika saya menerima uang dari Om bukan dari hasil menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu." Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu pasti akan senang sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
Pembaca yang budiman.Dari hasil didikan seorang ibu yang luar biasa, lahirlah anak yang hebat! Walaupun mereka miskin harta tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain tetapi dengan bekerja keras, membanting tulang. Karena sesungguhnya, KERJA ADALAH KEHORMATAN bagi setiap manusia!
Rabu, 25 Juni 2008
Matematika Gaji dan Logika Sedekah
Dari sebagian rizki yang kita peroleh adalah milik orang lain. Maka Berbagilah..
Matematika Gaji dan Logika Sedekah Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini.Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafahhidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakartaini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.
Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yangdiprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalamnegeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan daripelatihan itu. Melainkan dari pria ini. Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan.Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidakseperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan.Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengansikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahamidari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.
Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukarinformasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satusekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kamimasing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-samabernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakansangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amatberbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi. Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untukmembiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masihmemiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hinggaselesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknyayang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinyabarulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3kali dari jumlah yang diterimanya.
"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka.Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."
"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orangpelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapunsebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup.Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang." "Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan."Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisasedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.
"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalahkeluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punyauang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yangseribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"
"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.
"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seriburupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidakterduga."
Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agaktercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkinmasih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya? "Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kansudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapatjawabannya. "Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis.Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logikasedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisajadi puluhan lontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulutpengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jikakita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat.
Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilaibakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC." Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yangdilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melaluicontoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan.Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan olehorang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpahharta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab iamerasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi. Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjangmelalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajyseperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkanuntuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunasjasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dansejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyaknilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat. "Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilaimetematis dengan dimensi sedekah itu?". "Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin,tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat denganketerbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlahke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilaiqona'ah, ridha dan syukur". Saya semakin tertegun Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah sayahabiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selamaini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama sayarasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannyamenutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahankesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkansatu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang danmencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.
*** Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telahbeberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untukmeraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat,sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yangmenafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benihyang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allahmelipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan AllahMaha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah[2] 261)
By email Nike Rifa
Langganan:
Postingan (Atom)